Ngomongin Buku || The Invisible Life of Addie LaRue karya V. E. Schwab

 


Judul: The Invisible Life of Addie LaRue

Pengarang: V. E. Schwab

Jumlah Halaman: 448 hlm.

Tahun Terbit: 2020

No. ISBN: 978-0765-3875-61


What is a person, if not the marks they leave behind?

—The Invisible Life of Addie LaRue

About This Book

Addeline "Addie" LaRue telah hidup selama 300 tahun tanpa diingat siapapun. Keberadaannya terlupakan dengan mudah, sekalipun seseorang hanya memalingkan pandangan darinya. Addie tidak bisa meninggalkan jejak (tulisan, ukiran, karya, dsb), bahkan dia tidak bisa menulis atau mengucapkan namanya sendiri. Semua ini adalah konsekuensi dari kebebasan dan keabadian yang didapatnya dari sesosok dewa yang berkuasa dalam kegelapan. 

Semakin lama, Addie semakin terbiasa dengan kehidupannya yang bak hantu, hingga suatu ketika, seseorang mendadak mengingat Addie. 

Bagaimanakah perjalanan hidup Addie selama tiga ratus tahun? Mengapa ada satu orang yang bisa mengingatnya? Dan bagaimanakah akhir dari kisah mereka?

My thoughts

The Invisible Life of Addie LaRue adalah karya V. E. Schwab pertama yang kubaca. Dulu aku memang sering mendengar soal buku ini, tetapi baru mendapat niat untuk membacanya sekarang. Hal yang semula bikin aku tertarik adalah konsep kutukan Addie, kemudian fakta bahwa ada seseorang yang akhirnya bisa mengingat keberadaannya. Lalu, apakah buku ini sesuai dengan ekspektasiku?

Let's talk about what i like...

Novel ini mengangkat tema yang unik sekaligus menyadarkanku kalau dilupakan itu ternyata ga enak, bahkan menyedihkan. Manusia pasti ingin diingat, meski sesimpel diingat oleh teman, keluarga, atau gebetan. Tapi bagi Addie, sekadar menyebut namanya aja dia gak bisa, apalagi meninggalkan ingatan di benak orang lain. 

Aku suka dengan konsep sihir yang mengabulkan keinginan pembuatnya, tetapi pada saat bersamaan memberikan risiko yang setimpal. Addie memang bisa hidup bebas seperti yang dia inginkan, tetapi dia harus siap menjalani hidup yang tidak beda jauh dari sesosok hantu. 

Menurutku, emosi-emosi dari pengalaman Addie memang tersampaikan dengan amat baik. Naik-turun dan liku-likunya dapet. Kita juga akan diajak mengikuti perkembangan karakter Addie, dari yang semula masih belum terbiasa dengan kehidupan barunya hingga akhirnya mulai bisa menerima keadaaan. Rasa sakit yang dirasakan Addie terasa banget, sih 🥲 Kepahitan dalam hidupnya benar-benar gak bisa dibayangkan semisal menimpa seseorang di dunia nyata. 

The Invisible Life of Addie LaRue memiliki bahasan yang erat dengan kehidupan kita sebagai manusia, yang pada dasarnya hanya menumpang sementara di dunia sehingga kita akan berusaha meninggalkan jejak berupa ingatan atau karya. Selain itu, terdapat pula pembahasan lain mengenai seberapa pentingnya seseorang untuk dicintai dan dihargai keberadaannya, meskipun dua hal tersebut barangkali dianggap remeh bagi beberapa orang. 

Buku ini memang bergenre fantasi, tetapi unsur sejarah dan dramanya juga mendominasi. Fantasi yang disuguhkan pun bukan sesuatu yang rumit sehingga pembaca awam bisa menikmatinya. Gaya bahasanya juga tergolong puitis, yang mana bisa menjadi unsur pendukung untuk membantu pembaca agar lebih meresapi cerita.

However...

Terlepas dari makna dalam yang buku ini coba sampaikan, aku ragu mau membacanya untuk kedua kali. Plotnya sebenarnya sederhana, tapi pembaca lebih banyak disuguhi flasback dari kehidupan Addie. Bisa dibilang plot dari kehidupan masa kini Addie hanya segelintir, karena buku ini didominasi oleh cerita masa lalu dan bagaimana Addie berusaha mengatasi kutukannya. 

Rata-rata kejadian yang Addie alami di masa lalunya memang penting untuk diceritakan karena memperlihatkan improvement karakternya, tapi aku merasa beberapa bagian agak membosankan.

Repetisi menjadi hal yang cukup mengganggu, baik dalam bentuk paragraf maupun penyebutan detail karakter. Menurutku repetisi sah-sah saja digunakan untuk memberikan penekanan terhadap suatu hal atau untuk mendramatisasi keadaan, tapi kalau dipake keseringan jadi sebel juga, nih. Misalnya seperti kalimat di bawah ini. 

She lies there, perfectly still, tries to hold time like a breath in her chest; as if she can keep the clock from ticking forward, keep the boy beside her from waking, keep the memory of their night alive through sheer force of will.

Entah sudah berapa kali juga disebutkan kalau Addie punya tujuh bintik-bintik di wajahnya yang mirip konstelasi. I get it okay? Ga usah diulang terus. 🙄 Gara-gara keseringan disebut, kesan magical-nya pun hilang dan malah bikin aku risih. 

Addie ini, kan, hidup lama dan beberapa kali bertemu tokoh sejarah. Berdasarkan pengalaman membacaku, ditambah pengamatanku di Goodreads atau video review di YouTube, rata-rata tokoh-tokoh sejarah yang ditemui Addie adalah orang berkulit putih. Lelaki pula. 

Dari video yang kutonton di channel withcindy , dikatakan bahwa akan lebih berkesan bila Addie bertemu dengan tokoh-tokoh yang seringkali terlupakan, misalnya para perempuan yang sejarahnya tidak pernah diungkit hanya karena gender mereka atau tokoh-tokoh dari golongan people of colors yang juga diabaikan akibat ras mereka. Aku pribadi setuju dengan hal tersebut dan menyayangkan keputusan V.E. Schwab untuk melewatkan hal sepenting ini. 

Tokoh Addie sendiri, hmm, aku ngerasa dia 'not like other girls'. Dia ga mau menikah dan selalu mendeskripsikan perempuan yang udah menikah dengan cara paling menyedihkan. Okelah, masuk akal aja karena dia hidup di tahun 1714 dan budaya patriarki di tahun segitu pasti masih kuat. Selain itu, kehidupan perempuan belum sebebas sekarang. Cuma gimana, ya... Kadang kesel aja sama Addie. 😭

Oke, segitu dulu review dariku. Thanks for reading ✨🌸

Komentar

Postingan Populer