Ngomongin Buku || Divine Rivals karya Rebecca Ross


Judul: Divine Rivals

Penulis: Rebecca Ross

Tahun Terbit: 2023

Jumlah Halaman: 368 hlm.

“It takes courage to let down your armor, to welcome people to see you as you are. Sometimes I feel the same as you: I can’t risk having people behold me as I truly am. But there’s also a small voice in the back of my mind, a voice that tells me, “You will miss so much by being so guarded.”

About This Book

Berlatar di sebuah dunia imajinatif, Divine Rivals mengisahkan sepasang jurnalis yang bersaing satu sama lain untuk naik jabatan di perusahaan koran tempat mereka bekerja. Keduanya bagaikan langit dan bumi, di mana Iris Winnow merupakan gadis kurang berada yang bekerja keras untuk mengais rezeki sementara kakak lelakinya sedang pergi berperang dan ibunya larut dalam pengaruh alkohol; di sisi lain ada Roman Kitt, seorang pemuda dari keluarga new money yang kehidupannya teratur dan kerap dikekang keluarganya. 

Iris senantiasa mengirimkan surat kepada sang kakak dengan cara menyelipkannya ke dalam sebuah lemari, yang nantinya surat itu akan hilang dan dipercaya terkirim ke kakaknya. Tanpa Iris ketahui, rupanya surat tersebut terkirim kepada Roman. Mereka pun kerap bertukar surat walau Iris tidak tahu siapa pria yang selama ini dia ajak bicara.

Mengapa mereka bisa saling berkirim surat? Bagaimana perkembangan hubungan antara Iris dan Roman di tengah peperangan yang berlangsung? 

My thoughts

Cara Rebecca Ross bercerita patut diacungi jempol karena gaya bahasanya yang puitis, tapi mudah dipahami. Buat pembaca novel Inggris intermediate sepertiku udah bisa memahami ceritanya dengan baik. Bagiku novel ini punya alur yang oke dan cukup mengguggah perasaan, tapi untuk setengah awal aja. Sementara untuk sisanya... aku masih merasakan gejolak emosi, tapi kadang disertai bola mata yang diputar sambil berkata "hadeehh".

Sebenarnya ide yang diusung oleh Divine Rivals cukup unik, di mana manusia ditarik oleh dewa-dewi untuk berperang bagi mereka. Di antara peperangan yang keji, tumbuhlah benih cinta di antara sepasang sejoli. Konsep sihir yang memperbolehkan Iris dan Roman untuk bertukar surat juga lumayan menarik. 

Tapi, menurutku konflik peperangan, yang seharusnya bisa lebih dikembangkan, malah terbuang sia-sia. Sepanjang membaca buku aku jarang mendapatkan informasi soal perang yang terjadi. Penulis lebih fokus ke hubungan antara Roman dan Iris, serta menggali beberapa hal tentang kehidupan mereka masing-masing (cerita dari sisi kehidupan Iris jauh lebih ditonjolkan dalam buku ini). Paling di bab-bab ujung mulai ditampilkan suasana perang yang real itu seperti apa, dan untuk sebuah novel yang mengangkat tema peperangan, adegan yang kumaksud bagaikan cuma cuplikan singkat.

Penulis memang sempat menyampaikan sejarah antara Enva dan Dacre, alias dua sosok dewata yang sedang saling bertempur, tetapi cuma menceritakan sekelumit tentang bagaimana orang-orang menderita akibat peperangan antar dua dewa. Padahal Iris sempat bertugas sebagai war correspondent untuk melaporkan kondisi terkini peperangan, tetapi lagi-lagi, informasi yang disampaikan soal perang itu sendiri amat minim sampai terkesan tidak penting. Padahal ini perang antara dua sosok dewata, loh.

Belum lagi, perang di sini santai banget. Yang wasweswos cuma di front line peperangan. Desa di dekat medan perang kesannya masih aman-aman aja, walau sesekali ada dilalui oleh makhluk mitologi kiriman musuh. Di perkotaan utama apalagi, kayak tenang banget. Gak ada permasalahan krisis makanan, krisis ekonomi, dsb. 

Dunia imajinatif yang menjadi latar cerita ini kurang dijelaskan lebih lanjut. Di benakku, Oath dan kota lainnya yang ada di dalam buku memiliki visual seperti negara Eropa atau Amerika. Secara gaya hidup pun kurang lebih sama dengan gaya hidup zaman Perang Dunia I atau II. 

Untuk karakternya, menurutku mereka merupakan template dari karakter-karakter yang sedang hype di dunia perbukuan terkini. Di mana ceweknya adalah pribadi independent yang kehidupannya keras dan harus berjuang ekstra demi meraih mimpi walau dia punya kemampuan di atas rata-rata (yang jarang di-show oleh sang penulis), sementara cowoknya adalah pemuda berambut hitam dan mata biru, sombhong, rival utama si cewek deh pokoknya. 

Jujur lama-lama capek baca karakter yang itu-itu aja. Lebih capek lagi ngeliat romansa yang katanya rivals-to-lovers-lah, enemies-to-lovers-lah, tapi kelahinya cuma tuker-tukeran ejekan dan menjelang sepertiga terakhir buku udah saling mengakui perasaan satu sama lain. HALAAAAH. Mending kalau cuma jadian. Kalau di novel ini... hah, sudahlah. 

Orang-orang bilang Divine Rivals adalah novel yang cocok untuk menyembuhkan hangover setelah membaca Fourth Wing. Menurutku cocok, soalnya sama-sama novel yang karakter utama dan trope-nya template banget, terlepas dari elemen-elemen tambahannya yang unik. Fourth Wing masih mending karena unsur fantasinya terbangun dan kehadiran naga dalam novel itu amat menaikkan suasana membaca. Sementara Divine Rivals punya unsur fantasi yang terlalu nanggung. Ibarat makan lamongan, fantasi di sini cuma side dish sayur yang kadang dimakan, kadang engga.

Kesimpulannya, kalau kalian fine dengan karakter yang itu-itu saja atau butuh bacaan yang gak banyak mikir, boleh coba Divine Rivals untuk refreshing semata. Tapi jujur aku agak sayang, sih, kalau harus beli buku fisiknya dan cuma dapat cerita seperti itu. Kalau mau coba baca, mending pinjam di perpustakaan elektronik macam Libby. 

Udah deeh, segitu dulu yeaa. 

Komentar

Postingan Populer